Jangan Ada Gerimis

Jangan ada gerimis di bulan Agustus. Saya menggemari gerimis. Mencintai gerimis. Hanya saja jangan ada gerimis di bulan Agustus. Enak saja!

Gerimis. Hujan. Tangis. Kesedihan. Mereka mirip. Datang bersamaan. Meski tak jarang juga membawa segelintir kebahagiaan; anak-anak bermain di tengah hujan; bibir basah yang dikecup pacar-romantis katanya-; menghilangkan debu di jalanan; penyejuk napas kota yang digerogoti polusi udara. Saya menyukai gerimis. Mencintai gerimis. Tapi, jangan ada gerimis di bulan Agustus.

Pernah ada yang mengatakan gerimis terasa hangat. Asal tahu saja. Itu uap tanah yang naik ke permukaan karena disiram air. Gerimis tak pernah hangat. Lebih-lebih hujan. Selalu haru-biru. Dingin. Kelam abu-abu. Sedih. Kalaupun terasa hangat, kau hanya sedang jatuh cinta!

Tadi malam gerimis hujan rintik-rintik. Begitu saya menyebutnya. Gerimis yang menjadi deras dan lebih besar. Gerimis enggan mengempaskan diri terlalu keras dan menyebabkan bunyi nyaring di atap rumah. Ia hanya jatuh perlahan. Hanya desis. Sehingga kau cukup senang menengadahkan wajahmu ke langit yang tengah gerimis. Itu gerimis. Sudah sering kau rasakan? 
Tapi, jangan ada gerimis di bulan Agustus.

Ia boleh berkunjung dengan syarat mutlak. Harus selalu membawa kebahagian. Jangan hanya secuil. Banyak kalau perlu.

Pagi ini gerimis. Gerimis pertama di bulan Agustus. Sepertinya tak ada kesedihan yang dibawanya. Tak juga kebahagiaan. Hanya membawa rindu seperti biasanya.

Saya menggemari gerimis. Mencintai gerimis. Jika gerimis membawa kesedihan. Saya harap jangan ada gerimis di bulan Agustus. Sedih dan bahagia sudah satu paket. Kebahagian hanyalah kesedihan yang pandai bersembunyi. Jika gerimis membawa kesedihan. Saya harap jangan ada gerimis di bulan Agustus. Saya dilahirkan pada Agustus hari ke-11.

Martapura, 5 Agustus 2016


Tinggalkan komentar